Pengamat Hukum: Tindakan Camat Tenggarong Sukono Penuhi Unsur Pidana Kekerasan Seksual

ADAKALTIM.COM – Pengamat hukum dari Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Mansyur menyampaikan pandangan terkait kasus kekerasan seksual yang diduga melibatkan Camat Tenggarong Sukono.

Menurut dia, jika mengacu pada laporan yang dilayangkan LH (26), yang merupakan korban dalam kasus tersebut, maka tindakan yang diduga dilakukan Sukono memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual.

Ia menjelaskan, kekerasan seksual terbagi menjadi dua: kekerasan seksual secara verbal dan non-verbal, yang merupakan ucapan atau sentuhan langsung pada area sensitif tanpa persetujuan korban.

“Bahkan memegang tangan tanpa seizin pemiliknya juga disebut kekerasan seksual secara fisik,” jelas Mansyur, Sabtu (20/5/2023).

Meskipun unsur kekerasan seksual telah terpenuhi, ia mengurai, kasus yang diduga melibatkan Sukono termasuk ranah pidana yang membutuhkan pembuktian.

Alat bukti, lanjut dia, menjadi syarat untuk membuktikan bahwa Sukono telah melakukan kekerasan seksual terhadap pegawai honorer di Kantor Camat Tenggarong tersebut.

Jika tuduhan yang dilayangkan kepada Sukono dapat dibuktikan, sambung Mansyur, maka penyidik akan menaikkan kasus ini pada tingkat penyidikan.

Setelah terpenuhi unsur dalam proses penyidikan, kata dia, kepolisian akan meningkatkan kasus ini pada tahap penuntutan.

“Lalu nanti akan diuji hasil mulai dari penyelidikan sampai penuntutan. Itu diuji di ruang pengadilan apakah yang diproses ini ada unsur pidana atau tidak. Yang didakwakan oleh jaksa ini akan diuji di sana,” terangnya.

Berdasarkan KUHAP, jelas dia, sebelum Sukono ditetapkan sebagai tersangka, kepolisian harus mengantongi dua alat bukti permulaan.

Jika dalam kasus ini hanya terdapat satu orang saksi, kata Mansyur, terlapor tidak akan bisa dijerat dalam kasus tersebut.

“Untuk mendukung laporannya, korban harus punya saksi lain. Kecuali terlapor mengakui perbuatannya,” ucap dia.

Dosen Fakultas Hukum Unikarta Tenggarong ini mengatakan, apabila terlapor tidak mengakui perbuatannya, maka proses penyelidikan akan terhambat.

“Jadi, cukup penting terlapor itu mengakui perbuatannya supaya dinaikkan prosesnya pada tahap selanjutnya, karena proses hukum itu bukan hanya soal argumentasi, tapi juga bukti,” jelasnya.

Dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, alat-alat bukti dalam kasus ini bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

“Bukti yang cukup minimal ada dua, yaitu saksi dan keterangan ahli. Bisa saksi ditambah keterangan surat; bisa saksi dan petunjuk,” katanya.

Kata Mansyur, saksi menjadi alat bukti terkuat untuk menetapkan Sukono sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual.

“Pertanyaan mendasar saya atas dugaan pelecehan ini adalah ada enggak saksinya?” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa saksi, petunjuk, dan surat adalah alat bukti yang sangat dibutuhkan dalam kasus kekerasan seksual yang diduga melibatkan Camat Tenggarong tersebut.

“Percuma punya bukti lain namun tidak ada saksi. Karena beda dengan hukum perdata; paling pertama alat buktinya adalah surat. Jadi, untuk membuktikan orang berbuat jahat harus ada saksinya,” tutur Mansyur. (rh/fb)

Fenomena Kekerasan Polisi dan Rasisme di Prancis Tuai Kritik Keras dari Dewan HAM PBB

ADAKALTIM.COM – Prancis telah dikritik oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa karena meningkatnya kekerasan polisi, termasuk terhadap pengunjuk rasa, saat demonstrasi Hari Buruh yang meluas menguasai negara.

“Prancis harus mengambil langkah-langkah untuk, secara transparan, mengatasi tuduhan mengenai penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi dan gendarmerie terhadap pengunjuk rasa selama demonstrasi,” demikian perwakilan Swedia mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa pada Senin (1/5/2023), ketika dunia memperingati Hari Buruh Internasional.

Selain ketegangan baru-baru ini antara pasukan polisi dan pengunjuk rasa di protes reformasi pensiun negara itu, kelompok-kelompok hak asasi juga sebelumnya menunjukkan skala luas kekerasan polisi di Prancis selama protes rompi kuning “gilets jaunes” 2018 dan final Liga Champions 2022, dan telah meminta Paris untuk mengatasi masalah ini.

Di Dewan PBB yang bermarkas di Jenewa, perwakilan Rusia Kristina Sukacheva, yang negaranya juga dikritik karena kekerasan polisi, mengatakan bahwa tindakan keras dan kadang-kadang kekerasan yang ditujukan untuk membubarkan warga negara yang damai di Prancis menjadi perhatian.

Paris juga dipanggil untuk intoleransi agama, serangan terhadap migran, dan pemrofilan rasial oleh beberapa negara di Dewan PBB ketika anggota melakukan Tinjauan Berkala Universal (UPR) Perancis—sebuah proses yang harus dilakukan oleh 193 negara PBB setiap empat tahun.

Perwakilan AS di Dewan PBB, Kelly Billingsley, mengatakan negaranya ingin Paris “memperluas upaya untuk melawan kejahatan dan ancaman kekerasan yang dimotivasi oleh kebencian agama seperti antisemitisme dan kebencian anti-Muslim, termasuk kasus pelecehan, vandalisme, dan penyerangan”.

Sementara itu, China mendesak Prancis untuk “menghentikan tindakan yang melanggar hak-hak migran” dan Brasil serta Jepang menyoroti pentingnya menghentikan “profil rasial oleh pasukan keamanan”.

Sabrine Balim, seorang penasihat yudisial di Kementerian Dalam Negeri Prancis, mengatakan kepada Dewan PBB bahwa Prancis “mengutuk segala bentuk profil rasial”.

Ia mengatakan bahwa kekuatan yang digunakan oleh polisi “diawasi, dikontrol dengan ketat, dan dalam kasus penggunaan yang salah akan diberi sanksi”. (*)

Sumber: Purna Warta