Masyarakat Desa Sebuntal Marangkayu Ultimatum PTPN XIII soal Lahan yang Tak Kunjung Dibayar

Bendungan Marangkayu. (Istimewa)

Tenggarong – Masyarakat Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara (Kukar), melayangkan ultimatum keras kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII.

Masyarakat menegaskan bahwa sudah tidak lagi percaya pada janji penyelesaian ganti rugi lahan yang digantung sejak belasan tahun lalu.

Bahkan, masyarakat menyatakan siap mengambil kembali lahan mereka dengan cara apa pun jika perusahaan dan pemerintah terus berdiam diri.

Beredar pernyataan sikap masyarakat yang beredar di media sosial, “Dengan ini kami warga Kecamatan Marangkayu dari dua desa menyatakan sikap. Kami berhenti menyampaikan aspirasi. Kami akan hancurkan bendungan, dan ambil kembali lahan dan rumah kami. Jika pejabat dan aparat berusaha menghalangi kami, maka kami akan nyatakan perang. Hasbunallah wani’mal wakil.”

Koordinator aksi, Nina Iskandar mengungkapkan, keresahan warga bermula sejak 2007, ketika pemerintah dan PTPN XIII berjanji akan membebaskan lahan dengan syarat warga tidak lagi melakukan aktivitas, seperti bersawah maupun mendirikan rumah di atas tanah tersebut.

Namun, janji yang sudah sepakati bersama oleh PTPN XIII dan masyarakat tidak kunjung sepenuhnya ditepati.

Menurut Nina, perusahaan memang sempat membayar sebagian kecil ganti rugi, tetapi nilainya jauh dari total kewajiban yang harus dibayarkan.

“Sisanya setelah itu tahun 2012 pindah ke provinsi. Gagal, tidak ada pembayaran sama sekali sejak tahun 2012, terakhir itu 2011. Tahun 2012 sudah tidak ada lagi pembayaran mangkrak sampai 2017,” jelasnya.

Dari total Rp 130 miliar, kata Nina, baru sekitar 12 persen yang sudah di ganti rugi oleh perusahaan.

Masalah semakin pelik, ketika PTPN XIII mengklaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang selama ini dikelola warga Sebuntal.

Padahal, lanjutnya, tanah di Sebuntal sejak dulu adalah lahan persawahan, sementara kebun sawit perusahaan berada jauh di Desa Bunga Putih.

“Di Sebuntal itu sawah. Enggak pernah ada HGU PTPN XIII karena mereka kebun sawitnya jauh di Bunga Putih sana,” tegasnya.

Nina mengungkapkan, upaya penyelesaian juga pernah dilakukan dengan membawa perwakilan masyarakat ke Jakarta oleh BPN Kukar.

Dari hasil pertemuan, masyarakat telah dijanjikan akan ada kejelasan, bahkan sempat bertemu pejabat Kementerian ATR/BPN dan mendengar langsung pengakuan bahwa lahan yang mereka kelola bukanlah bagian dari HGU perusahaan.

“Bahkan direktur PTPN dipanggil menteri dan dia bilang memang tidak punya HGU di sana,” ujarnya.

Namun, janji itu tak pernah dituangkan dalam berita acara resmi, masyarakat hanya pulang dengan keyakinan kosong.

“Pulang dengan janji. Katanya nanti PDF dikirim via email, nyatanya tidak ada,” bebernya.

Sejak itu, generasi muda Sebuntal mulai ikut memperjuangkan hak mereka, menggantikan orang tua yang sebagian telah meninggal dunia.

Pada 2024, kekecewaan warga semakin dalam ketika alasan konsinyasi di kedepankan, dana ganti rugi disebut dititipkan ke pengadilan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga.

“Tiba-tiba uang warga enggak dikasih ke warga. Katanya dititipkan ke pengadilan. Setahu saya kalau konsinyasi itu harus ada persetujuan kedua belah pihak. Faktanya tidak ada,” tuturnya.

Sejumlah mediasi dan aksi demonstrasi telah berulang kali digelar, namun hasilnya selalu buntu. Situasi itu membuat warga mengambil sikap paling tegas.

“Kalau kita diam juga mati. Kalau kita melawan juga perang, nanti tetap mati. Jadi, lebih baik mati dengan melawan,” ujarnya.

Menurut Nina, ultimatum masyarakat adalah tanda bahwa ruang dialog sudah tertutup kecuali PTPN XIII berani jujur soal status lahan.

“Langsung saja mereka cabut HGU mereka. Karena mereka sendiri sudah menyatakan tidak punya HGU. Selesai urusan,” pungkasnya. (ak/ko)

Bagikan :