Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin: Warisan Kesultanan Kutai yang Menjadi Situs Sejarah Nasional

Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin, Tenggarong Kutai Kartanegara (ist)

KUTAI KARTANEGARA – Bagi pecinta wisata religi, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin merupakan destinasi wajib saat berkunjung ke Kota Raja, Tenggarong.

Masjid ini adalah warisan berharga dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan telah berdiri kokoh selama satu setengah abad, mencerminkan kekayaan sejarah dan budaya Kutai yang masih terjaga hingga kini.

Jika Anda ingin mengunjungi masjid ini, berlokasi di satu kompleks dengan Kedaton Sultan Ing Martadipura, tepat di persimpangan Jalan Monumen Timur dan Jalan Mayjen Sutoyo, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin mempertahankan gaya arsitektur khas tempo dulu yang relevan dengan usianya yang mencapai 132 tahun.

Di halaman depan masjid, terdapat menara setinggi 30 meter dengan tiga tiang yang tergabung di bawah kubah, memberikan kesan megah dan klasik.

Bangunan utama masjid berukuran 50×50 meter persegi ini didirikan dengan gotong royong oleh rakyat dan ulama pada tahun 1874 atas prakarsa Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Pada tahun 1930, Sultan Aji Muhammad Parikesit memimpin peningkatan bangunan menjadi masjid yang megah dengan bantuan menteri kerajaan, Aji Amir Hasanuddin.

Masjid ini dirancang oleh arsitek kepercayaan Kesultanan Kutai dengan gaya rumah lokal dan pengaruh budaya Melayu. Struktur bangunan utamanya menggunakan kayu ulin, komoditi khas hutan Kalimantan yang terkenal akan kekuatannya. Dinding luar masjid berlapis cat putih dengan aksen hijau tua, menambah kesan elegan dan klasik.

Masjid ini memiliki 19 pintu di setiap sisi dengan warna krem yang khas. Di dalamnya, terdapat 16 tiang utama dari kayu ulin yang menopang langit-langit dan atap kayu tumpang tiga dengan kubah berbentuk poligon. Bagian atap masjid juga dilengkapi kaca bening yang memungkinkan cahaya matahari masuk, memberikan penerangan alami sepanjang hari.

Dirancang dengan ventilasi yang baik, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin memastikan sirkulasi udara yang optimal. Pada tahun 1962, nama masjid ini diubah dari Masjid Sultan menjadi Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin oleh Iskandar Usat, ketua takmir masjid saat itu, melalui musyawarah dengan tokoh masyarakat Tenggarong.

Masjid ini dibangun dengan semangat gotong royong tanpa paksaan atau janji upah. Masyarakat berkontribusi dengan penuh iman dan keikhlasan, dipimpin oleh Aji Amir Hasanuddin dan dibantu oleh Sayid Saggaf Baraqbah, seorang penyiar Islam yang berdakwah di sekitar Kutai.

Kini, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin telah ditetapkan sebagai salah satu masjid bersejarah di Indonesia dan menjadi situs sejarah serta cagar budaya nasional. Meskipun telah mengalami beberapa kali pemugaran, keaslian arsitektur dan bentuk bangunannya tetap dijaga.

Perbaikan terakhir dilakukan pada tahun 2019-2020 di bagian tiang penyangga. Menariknya, sebelum direhab, tidak ada satu pun paku yang digunakan dalam pembangunan masjid ini; semua struktur bangunannya diperkuat dengan pasak kayu.

Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol sejarah dan kebanggaan masyarakat Kutai yang terus terjaga hingga kini. (ADV)

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *