Judi Online dan Pertengkaran Jadi Pemicu Utama Meningkatnya Perceraian di Kukar

Ilustrasi perceraian. (Istimewa)

Tenggarong – Lonjakan angka perceraian di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) kini menjadi perhatian serius

Salah satu penyebabnya datang dari kebiasaan baru judi online yang berujung pada kehancuran rumah tangga.

Dari data yang di himpun, sepanjang tahun 2025, Pengadilan Agama (PA) Tenggarong mencatat 1.370 perkara perceraian hingga bulan Oktober.

Angka tersebut mencerminkan permasalahan keluarga semakin kompleks, terutama di kalangan pasangan muda.

Menurut Humas PA Tenggarong, Rudiansyah, sebagian besar perkara berasal dari gugatan cerai yang diajukan oleh istri.

Ia menyebut, jumlahnya mencapai lebih dari seribu kasus, sementara permohonan cerai talak dari pihak suami hanya sebagian kecil.

“Perbandingan antara keduanya cukup mencolok. Kasus yang diajukan istri jumlahnya jauh lebih banyak,” ungkapnya kepada adakaltim.com pada Sabtu (11/10/2025).

Rudiansyah memaparkan, pertengkaran dalam rumah tangga menjadi akar utama penyebab perceraian.

Banyak pasangan yang tidak mampu mengendalikan emosi dan gagal menyelesaikan persoalan dengan komunikasi yang sehat.

Ia menuturkan, perbedaan karakter yang seharusnya bisa diatasi justru berubah menjadi konflik berkepanjangan.

“Bisa karena masalah ekonomi, bisa juga karena hal sepele yang dibiarkan menumpuk hingga akhirnya memuncak,” jelasnya.

Ia juga menyoroti meningkatnya kasus perceraian akibat pengaruh judi online.

Fenomena ini, kata Rudiansyah, mulai marak setahun terakhir, banyak suami yang kehilangan kendali hingga terjerat utang dan menggadaikan barang-barang rumah tangga demi bermain judi.

“Dari situ muncul pertengkaran, kekecewaan, lalu istri yang akhirnya menggugat cerai,” lanjutnya.

Selain faktor perilaku, usia pasangan turut menjadi perhatian. Rudiansyah menyebut, mayoritas perkara datang dari pasangan muda berusia antara 20 hingga 30 tahun.

Mereka dinilai belum matang secara emosi dan finansial, sehingga mudah goyah ketika menghadapi tekanan hidup.

“Banyak yang menikah di usia muda tanpa persiapan yang cukup. Saat menghadapi masalah, mereka lebih memilih berpisah daripada berjuang bersama,” ucapnya.

Data PA Tenggarong juga menunjukkan pernikahan di bawah lima tahun paling sering berujung pada perceraian.

“Lima tahun pertama seharusnya jadi waktu untuk membangun fondasi rumah tangga, tapi nyatanya banyak yang tumbang di fase itu,” tuturnya.

PA Tenggarong terus berupaya menghadirkan ruang mediasi bagi pasangan yang sedang berkonflik.

Namun, Rudiansyah tak menampik bahwa tidak semua rumah tangga bisa kembali bersatu.

“Kami selalu mengutamakan perdamaian, tapi ketika keputusan sudah bulat, proses hukum tetap harus berjalan,” pungkasnya. (ak/ko)

Bagikan :